MIFTAH H. YUSUFPATI

Proyek Sengsara Nasional: Praktik Kolonialisme terhadap Masyarakat Adat

Oleh: Miftah H. Yusufpati | Pemimpin Umum FNN  PSN di mata Busyro Muqoddas adalah singkatan dari proyek sengsara nasional. Bukan proyek strategis nasional. Eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK ini bukan tanpa dalil bilang begitu. PSN yang harusnya menyejahterakan rakyat justru mengorbankan rakyat banyak. Dalam Peluncuran dan Diskusi Buku tertajuk “Kehampaan Hak di Balik Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City” di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis 23 Januari 2025, Busyro menyebut kasus Rempang adalah tragedi kemanusiaan yang tak bisa dibantah akal sehat. “Rempang hanya satu contoh dari kejahatan negara melalui PSN, proyek sengsara nasional,” tutur Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini. Busyro lalu menyebutkan hal yang sama terjadi di Wadas, Jawa Tengah. Dari semua hal yang berlangsung itu, ia menyimpulkan terjadi pembebasan koloni, yang pelakunya justru adalah negara dan korporasi. ”Kenapa korporasi bisa sangat berdaya? Karena oligarki politik yang terus dibangun di atas kerapuhan nilai-nilai keagamaan, keadaban, dan budaya,” tuturnya. Ya. Konflik PSN dan masyarakat adat kian meruncing belakangan ini. Proyek peninggalan Presiden Joko Widodo itu menjadi pekerjaan rumah yang pelik bagi Presiden Prabowo Subianto. Busyro menyebut kebijakan Jokowi itu sebagai kebijakan gila. Itu sebabnya ia meminta Prabowo mengembalikan kewarasan yang dirobek pemerintahan sebelumnya. Bukan hanya Busyro dengan bendera Muhammadiyahnya yang bilang begitu. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang disuarakan Sekretaris Jenderalnya, Rukka Sombolinggi, juga menyebut hal yang tak jauh beda. Selama pemerintahan Jokowi, menurut Rukka, pelaksanaan PSN di berbagai daerah justru merampas hak masyarakat adat. “Banyak masyarakat adat yang terusir dari wilayah adat mereka atas nama investasi dan selanjutnya menjadi bancakan para pemilik modal,” ujar Rukka. Buruknya hukum dan kebijakan terkait Masyarakat Adat ditambah minimnya pengakuan terhadap masyarakat adat dan wilayah adatnya secara langsung berdampak pada meningkatnya perampasan wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan. Sepanjang tahun 2024, AMAN mencatat setidaknya terdapat 121 kasus yang telah merampas 2.824.118,36 hektar wilayah adat di 140 komunitas masyarakat adat. Konflik antara PSN dan masyarakat adat telah terjadi di hampir semua lokasi PSN. Banyak proyek yang digagas oleh pemerintah sering kali menggusur masyarakat adat dari wilayah mereka sendiri tanpa adanya partisipasi bermakna. Dalam banyak kasus, PSN dianggap lebih menguntungkan kepentingan bisnis daripada rakyat. “Kalau PSN ini benar-benar untuk masyarakat, seharusnya berangkat dari kebutuhan mereka, seperti pengesahan UU Masyarakat Adat atau percepatan perlindungan wilayah adat,” tambah Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian. Selama 10 tahun terakhir, PSN telah menjadi pendorong kedua terbesar setelah konflik agraria dalam memicu kasus SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation). Proyek ini juga mendorong penutupan ruang demokrasi melalui intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak kerusakan lingkungan akibat PSN. Celakanya, dokumen rancangan awal RPJMN 2025-2029 belum bergeser dari rencana awal. Dokumen itu lebih mengutamakan investasi dan bisnis tanpa menyinggung soal perbaikan nasib masyarakat adat. Ini menunjukkan bahwa praktik kolonialisme terhadap masyarakat adat atas nama ‘iklim’ dan PSN tetap akan berjalan massif dan menjadi tantangan terkini serta masa depan masyarakat adat. Hal yang mencemaskan lagi adalah rencana Presiden Prabowo membentuk 100 Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan yang terdiri atas kompi perikanan, perkebunan, dan pertanian. Perluasan kewenangan militer ini bisa mengancam hak-hak warga sipil khususnya masyarakat adat atas pengelolaan agraria serta menjadi dalih pembenaran keterlibatan militer dalam mengamankan proyek-proyek strategis nasional. TNI sejatinya dibentuk bukan untuk terlibat dalam proyek bisnis dan investasi. TNI dibentuk, untuk dididik, diorganisir, dibiayai dan dipersenjatai semata-mata untuk membunuh dan menghancurkan musuh dalam perang. Pelibatan TNI dalam proyek-proyek bisnis semacam ini hanya akan menempatkan TNI dalam posisi berhadap-hadapan dengan rakyat yang pada akhirnya menimbulkan kekerasan dan pelanggaran HAM. Akankah kegilaan PSN diteruskan? Kita tentu berharap Presiden Prabowo mengembalikan kewarasan yang diinjak-injak pemerintahan sebelumnya. Semoga. (*)

Pagar Laut Tangerang: Nestapa Nelayan, Membaca Bahasa Tubuh Titiek Soeharto

Titiek Soeharto memantau langsung proses pembongkaran pagar laut di perairan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten. Bahasa tubuh mantan istri Prabowo ini menjadi perbincangan. Oleh : Miftah H. Yusufpati | Pemimpin Umum FNN HARI Rabu 22 Januari 2025 menjadi hari bersejarah bagi nelayan di Perairan perairan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten. Pada hari itu, pagar bambu yang mengganggu mata pencarian mereka dibongkar paksa. Pada hari itu, Siti Hediati Hariyadi yang lebih dikenal dengan nama Titiek Soeharto memantau langsung proses pembongkaran pagar laut. Putri kedua penguasa Orde Baru itu terlibat dalam urusan ini karena ia adalah Ketua Komisi IV DPR RI. Komisi ini membidangi sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan. Mengenakan topi bundar hitam, kemeja putih, dan rompi motif batik warna biru navy, Titiek tampak berbincang dengan para staf TNI Angkatan Laut (AL). Tiba-tiba, tampak seorang laki-laki menghampirinya untuk menyapa dan bersalaman. Laki-laki tersebut adalah musisi senior Erros Djarot. Titiek dan Erros lantas berjabat tangan dan saling menyapa dengan “cipika-cipiki”. Di kerumunan itu tampak pula mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Roy Suryo, yang ikut menyapa dan menyalami Titiek. Selanjutnya, mantan istri Prabowo Subianto itu menuju tank amfibi yang akan membawanya menuju ke perairan Tanjung Pasir. Sesampainya di dekat tank, sejumlah staf TNI AL telah siap untuk membantu Titiek naik ke atas tank. Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksmana Muhammad Ali, yang sudah naik terlebih dulu ke atas tank tampak menunggu Titiek untuk naik. Perempuan kelahiran 14 April 1959 itu kemudian menaiki tank amfibi LTV-07 itu secara perlahan dengan dibantu para staf TNI AL. Setelah Titiek naik, tank bersiap berangkat. Tank itu turun dari pantai Tanjung Pasir menuju lokasi pagar laut di perairan Tanjung Pasir. Sejumlah perahu milik TNI AL hingga nelayan mengikuti dari belakang. “Mencengangkan,” komentar Rocky Gerung. “Bagaimanapun dia dikenal sebagai seorang yang hidup di dalam wilayah yang sebut saja luar kekuasaan zaman baru,” lanjutnya. Rocky menilai aksi Titiek Soehatro itu sebagai bagian tanggung jawab sebagai Ketua Komisi IV DPR RI. Selain itu, juga sebagai tanggung jawab atas keluhan rakyat. Bahasa tubuh Titiek Soeharto di tengah kegaduhan politik memberikan sinyal bahwa DPR sangat peduli dengan keadaan rakyat. “Pak Prabowo mungkin memberi semacam sinyal supaya Mbak Titiek pergi ke situ supaya ada ya ada semacam berita, kendati  tidak di dalam satu ikatan   perkawinan tetapi ada relasi yang masih terbangun,” ujar Rocky Gerung. Hal tersebut sebagai keindahan persahabatan antar manusia yang terpisah secara romansa tetapi terhubung secara politik. Kehadiran Titiek itu, memperlihatkan bahwa pagar laut merupakan persoalan serius yang harus dibuka ke publik. “Peristiwa sebelum Pak Prabowo jadi presiden peristiwa apa yang menyebabkan pagar laut itu berdiri kokoh tanpa tersentuh,” katanya. Semua sinyal ini yang memungkinkan kita membaca bahwa ada gejala baru yaitu pemastian apakah kimia politik antara rezim ini antara Prabowo dan dan rezim sebelumnya yaitu Jokowi itu betul-betul kimianya masih lekat atau betul-betul tidak nyambung lagi. Pada hari itu, pagar laut mulai dibongkar secara resmi oleh TNI AL, setelah berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mereka menargetkan dapat membongkar pagar laut mencapai 5 km dalam satu hari. Tak mudah membongkar pagar bambu yang menancap kokoh di lautan itu, ada 1.500 personel yang dikerahkan untuk membongkarnya. TNI AL mengerahkan  700 personel dan 400 pasukan katak, dengan tiga unit kendaraan tempur jenis amfibi LVT. Selain itu, ada bantuan 400 personel pasukan katak TNI AL, dan 500 orang nelayan Banten.  Nestapa NelayanPara nelayan di Tangerang bisa sedikit bernafas lega setelah pagar-pagar laut mulai dicabut. Pagar-pagar bambu itu tak hanya membatasi aktivias mereka melaut, tetapi juga membahayakan.   Nelayan asal Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang, Banten, Ujang (bukan nama sebenarnya), menjelaskan rata-rata nelayan di Desa Kohod menggunakan kapal kecil dengan jangkauan melaut tak terlalu jauh dari pantai. Pagar laut yang sudah terlihat sejak 2023 ini membuat posisi mereka sulit karena perlu menangkap ikan lebih jauh. “Ini berbahaya sekali untuk kami. Kalau tiba-tiba badai saat melaut dan posisi kami terlalu jauh di tengah laut, itu sangat berisiko untuk kapal kecil,” ujarnya. Selain berbahaya, pagar laut juga membuat mereka harus memutar untuk melaut. Biaya yang harus dikeluarkan untuk bensin pun naik hingga dua kali lipat. Padahal, tangkapan yang diperoleh justru kian sedikit. Cecep, melayan lainnya, mencatat volume tangkapannya turun hingga 50% sejak ada pagar laut. Ia mencontohkan, rata-rata hasil tangkapan ikan per hari yang sebelumnya mencapai 10 kg, kini hanya sekitar 5 kg per hari. Berkurangnya tangkapan cukup drastis ini disebabkan oleh lokasi pagar bambu di tempat biasa dia  melaut. Jika memaksakan diri melaut di tempat biasa, jalanya kerap tersangkut di pagar bambu.  Di sisi lain, volume solar yang harus dikeluarkan setiap melaut naik dua kali lipat dari 5 liter menjadi 10 liter. Kondisi ini membuat pendapatan para nelayan makin terpuruk. Apalagi, jika kapal mereka rusak karena menabrak pagar laut.  Nelayan asal Desa Cituis, Asep juga mengaku kebutuhan solarnya naik 50% dari 10 liter menjadi 15 liter.  Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai tempat penangkapan ikan lebih lama hingga 30 menit setelah adanya pagar bambu. “Sebelumnya melaut, kapal hanya lurus. Sejak ada pagar laut, harus memutar mencari jalan keluar,” ujarnya. Sementara itu, Pedagang di Tempat Pelelangan Ikan Cituis, Sandi mencatat, volume ikan yang diperdagangkan turun hingga 65% setelah Desa Cituis ditutup pagar bambu. PSN Tropical IslandTumpukan kayu bekas kapal yang rusak tampak di dermaga sederhana yang berada di wilayah Desa Kohod. Kapal-kapal itu rusak setelah menabrak patok-patok bambu yang jaraknya sekitar 100 meter dari daratan desa dan viral dengan sebutan pagar laut Tangerang. Ujang bercerita, sudah ada lima kapal milik nelayan di desanya yang rusak hingga tak bisa lagi digunakan karena menabrak pagar laut hanya dalam sebulan terakhir. Pagar yang sebagian sudah lapuk dan patah menyebabkan baling-baling rusak hingga melubangi kapal. Desa Kohod adalah salah satu desa yang bersinggungan langsung dengan pagar laut. Berdasarkan hasil investigasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, panjang pagar laut mencapai 30,16 km yang meliputi wilayah 16 desa di enam kecamatan. Tiga desa di Kecamatan Kronjo, tiga desa di Kecamatan Kemiri, empat desa di Kecamatan Mauk, satu desa di Kecamatan Sukadiri, tiga desa di Kecamatan Pakuhaji, dan dua desa di Kecamatan Teluknaga.  Jika melihat pada peta satelit Google, lokasi desa ini bersebelahan dengan Pantai Indah Kapuk Dua atau PIK 2 dengan batas Sungai Cisadane. Di Desa Kohod, ada pula area yang masuk dalam peta pengembangan Proyek Strategis Nasional atau PSN Tropical Island yang merupakan proyek dari PIK 2.  Lokasi area PSN terbagi menjadi 5 titik, A hingga E yang terpisah-pisah. Titik A: Desa Tanjung Pasir seluas 54 ha Area;  B: Desa Kohod seluas 342 ha Area; C: Desa Muara dan Tanjung Pasir seluas 302 ha Area; D: Desa Muara seluas 217 ha Area;  E: Desa Mauk dan Desa Kronjo seluas 687 ha.   Sejarah Pagar BambuPara nelayan di Desa Kohod mengatakan, deretan pagar bambu di laut itu sudah mulai tertancap sejak 2023. Ujang, bukan nama sebenarnya, mengaku pernah berpartisipasi memasang pagar laut selama satu bulan pada tahun lalu.  Ia bercerita, satu kelompok pekerja yang terdiri dari lima orang diminta memasang pagar bambu setinggi 5,5 meter sepanjang 50 meter setiap hari. Bambu-bambu itu ditancap di dasar lautan agar kokoh meski diterjang gelombang, dan hanya tersisa dengan tinggi satu meter di atas permukaan laut. Menurut Ujang, para pekerja dibayar Rp120 ribu per hari. Namun, pembayaran tersebut sempat molor sehingga ia dan beberapa temannya enggan melanjutkan pekerjaan itu.  Menurut informasi, pemasangan bambu dikerjakan oleh para nelayan di desa sekitar. Namun, tak ada yang bisa memastikan siapa di balik pemasangan pagar tersebut. Ujang pun membantah kemungkinan pagar laut dibangun swadaya oleh masyarakat karena biaya yang dibutuhkan untuk memagari laut sepanjang 30 km sangat besar. Ia bercerita, ada 4 truk berisi 400-500 bambu setiap harinya yang datang ke desa. Dari 4 truk bambu itu, dapat dibangun 100 meter pagar laut.  Adapun jika menggunakan perhitungan kasar satu bambu dibeli dengan harga Rp10 ribu per batang, maka dana yang dibutuhkan untuk membangun pagar laut sepanjang 30,16 km mencapai Rp4,8 miliar hingga Rp6 miliar. “Jika pembangunan pagar bambu hasil swadaya nelayan, uangnya dari mana? Dapat uang Rp50 ribu  sehari saja susah, boro-boro beli bambu,” kata Cecep, bukan nama sebenarnya, yang juga berprofesi sebagai nelayan di Desa Kohod.  Para nelayan di Desa Kohod dan Pelelangan Ikan Cutuis enggan mengungkapkan identitas aslinya. Mereka mengaku beberapa kali menerima ancaman dari pihak yang tidak jelas asal usulnya. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Eli Susiyanti sebelumnya mengungkapkan bahwa mendapatkan informasi pertama terkait pagar laut pada 14 Agustus 2024. Adapun saat timnya terjun langsung ke lapangan pada 19 Agustus 2024, panjang pagar laut masih mencapai 7 km. Namun, investigasi terakhir yang ditemukan pada akhir tahun lalu menunjukkan, pagar panjang sudah mencapai 30,16 km. Sejatinya, para nelayan tak pasrah begitu saja dengan nasibnya. Mereka sudah beberapa kali melaporkan pagar laut ke pemerintah daerah setempat hingga pemerintah pusat sejak 2023. Tindakan baru benar-benar diambil pemerintah setelah informasi terkait pagar ini viral di media sosial. “Kami membuat laporan saat pemerintahan Jokowi (Presiden Joko Widodo). Kami sudah ke Pj Bupati sampai terakhir ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga kali ke Jakarta, tapi saat itu, tidak ada satu pun yang kasih perhatian,” katanya. (*)

Perdana Menteri India Narendra Modi: Anti-Islam dan Sudah seperti Sultan

Pada 28 Mei 2023, ibu kota India, New Delhi, menyaksikan dua adegan dramatis yang terjadi satu sama lain dalam jarak 3 kilometer. Saat gedung parlemen baru diresmikan, petugas polisi menganiaya beberapa pegulat wanita top negara yang telah membawa pulang medali dari Olimpiade, Commonwealth Games, dan Asian Games. Para pegulat turun ke jalan selama sebulan terakhir menuntut penyelidikan terhadap Brijbhushan Sharan Singh, Presiden Federasi Gulat India. Ia dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap mereka dan pegulat wanita lainnya, termasuk anak di bawah umur.  Pada hari itu, mereka mencoba, dengan para pendukungnya, untuk turun ke jalan secara damai menuju gedung parlemen yang baru. Mereka  dihalangi oleh polisi Delhi. Para petugas mendorong mereka, menyeret dan mengangkat mereka, lalu membahwa mereka untuk diadili dengan berbagai tuduhan. Sementara itu, Singh, yang merupakan pemimpin Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa serta anggota parlemen yang sama, memasuki gedung baru dengan penuh kemenangan melambai ke kamera yang mengarah pada dirinya. Polisi yang sama inilah yang bahkan enggan mendaftarkan pengaduan para pegulat terhadap legislator. Butuh perintah Mahkamah Agung bagi polisi Delhi untuk melakukan fungsi dasar dan wajib ini. Namun, sebagaimana tabiat departemen kepolisian Delhi, mereka merasa perlu melapor dulu ke pemerintah pusat Perdana Menteri Narendra Modi.  Dalam delapan tahun terakhir, polisi berulang kali menolak mendaftarkan laporan terhadap para pemimpin BJP ketika mereka secara terbuka menghasut kekerasan serta terhadap penyelenggara atau peserta majelis yang menyerukan kekerasan terhadap umat Islam. Polisi berperilaku seperti lengan partai yang berkuasa. Monarki Mayoritas Apoorvanand, profesor di Departemen Bahasa Hindi, Fakultas Seni, Universitas Delhi, dalam tulisannya berjudul \"King Modi’s Sceptre and the Wrestlers Without Rights\" yang dilansir Aljazeera belum lama ini menyebut pada hari Minggu itu, gabungan yang aneh dan mengerikan.  \"Sungguh lucu melihat seorang perdana menteri, yang dipilih melalui proses demokrasi, mengubah peresmian gedung parlemen baru menjadi upacara yang terasa seperti pembukaan republik baru dengan corak monarki mayoritas,\" tulis kolumnis reguler dan komentator politik ini.  Para pendeta dari negara bagian selatan Tamil Nadu diterbangkan dengan pesawat khusus untuk memimpin upacara yang tampak seperti pengurapan seorang kaisar. Para pendeta ini memberi Modi sebuah tongkat emas, yang diambil dari museum yang telah disimpannya selama 75 tahun terakhir. Itu telah dikirim ke sana oleh kantor Jawaharlal Nehru, perdana menteri pertama India, yang telah diberikan tongkat kerajaan ini, disebut sengol, oleh pendeta Adheenam atau Mutt – bagian dari sekte agama Shaivite di Tamil Nadu. Para pendeta ini datang ke Delhi dengan kereta api pada hari di bulan Agustus 1947 ketika India dinyatakan bebas dan majelis konstituante akan mengambil alih kekuasaan dari Kerajaan Inggris. Sengol adalah simbol kekuatan ilahi. Beberapa variannya ada di hampir setiap masyarakat. Baru-baru ini, Raja Charles III terlihat memegang tongkat setelah diurapi sebagai raja baru Inggris. Nehru, sang demokrat, tidak dapat mengizinkan sengol ini menjadi bagian dari upacara peresmian demokrasi sekuler. Dirinya agnostik, dia menerimanya dari para pendeta secara pribadi, di kediamannya, sebagai tanda hormat. Seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan, benda itu dimasukkan ke dalam museum seperti banyak hadiah lain yang dia terima. Pemerintah Modi kemudian membuat kebohongan di sekitarnya. Dikatakan bahwa para pendeta Hindu telah menyerahkan sengol ini kepada Lord Mountbatten dari Inggris, raja muda terakhir India yang kemudian menyerahkannya kepada Nehru yang menandakan pengalihan kekuasaan dari Inggris ke India. Menurut pemerintahan BJP, sengol melambangkan kesinambungan kekuasaan ketuhanan pada zaman dahulu, yang dipegang oleh kerajaan-kerajaan Hindu atas namanya.  Kontinuitas itu terputus selama 1.300 tahun, yang melihat Muslim memerintah India, dan kemudian jeda singkat dari pemerintahan Inggris. Setelah kepergian Inggris, kekuasaan seharusnya kembali ke pemiliknya yang sah - yaitu orang Hindu. Dengan tidak menempatkan sengol di kursi kekuasaan – parlemen – dan malah mengirimkannya ke museum, BJP mengklaim bahwa Nehru telah tidak menghormatinya serta tradisi India kuno. Sejarawan segera membongkar kebohongan dalam rangkaian peristiwa yang diklaim ini. Namun hal itu disebarluaskan oleh media cetak dan TV serta partai yang berkuasa sebagai tindakan ketidakadilan sejarah terhadap umat Hindu, yang kini sedang dikoreksi oleh Modi. Oleh karena itu, tontonan seputar peresmian gedung parlemen yang baru dimaksudkan untuk menyarankan pemulihan kekuasaan Hindu. Tongkat kerajaan diserahkan kepada Modi dengan nyanyian agama Hindu. Memegangnya di tangannya, Modi memasuki gedung parlemen diikuti oleh anggota parlemen dan ketua DPR. Dia kemudian menempatkan sengol di dekat kursi pembicara, di mana itu seharusnya disimpan sebagai pengingat kekuatan ilahi itu. Apa yang dilakukan Modi bukanlah hal baru. Dia telah melakukan tindakan simbolis serupa selama delapan tahun terakhir, secara efektif menampilkan dirinya sebagai raja Hindu baru bahkan jika dipilih melalui proses demokrasi. Dia melakukan upacara keagamaan dan membuka kuil dalam kapasitas resminya. Pada Agustus 2020, Modi memimpin upacara peletakan batu pertama pembangunan Kuil Ram di sebuah situs di kota Ayodhya di mana Masjid Babri telah berdiri selama lebih dari 500 tahun sebelum dihancurkan oleh massa yang dimobilisasi selama bertahun-tahun. -kampanye yang dipelopori oleh partai Modi dan afiliasinya. Modi sendiri ikut aktif dalam kampanye itu. Modi tidak menyembunyikan rasa jijiknya terhadap karakter sekuler India. Setelah kemenangan pemilu keduanya pada tahun 2019, dia membual di hadapan anggota parlemen partainya bahwa dia telah secara efektif membuang kata sekularisme dari wacana politik India. Peresmian gedung parlemen baru kembali digunakan untuk memberi warna Hindu pada kursi kekuasaan tertinggi di India. Partai-partai oposisi memboikot upacara tersebut, menyalahkan pemerintah Modi karena mencemari norma-norma parlementer dan menuduhnya melanggar prinsip-prinsip konstitusional. Itu adalah pertunjukan Modi. Presiden India, kepala negara tituler yang menjalankan fungsi pemerintahan, tidak diundang. Wakil presiden, yang juga memimpin majelis tinggi parlemen, juga dijauhkan. Upacara ini dimainkan langsung oleh media TV utama negara itu, sebagian besar menutupi adegan kekerasan terhadap pegulat dan pendukungnya. Mereka dikutuk sebagai orang yang telah mengotori acara sakral dengan tuntutan egois mereka. Kontras ini mewakili kebenaran dari apa yang disebut Modi sebagai “India Baru”. Di satu sisi, ini melibatkan penggunaan simbol seperti sengol untuk mencoba mengantar negara Hindu. Namun, pada kenyataannya, adegan pegulat wanita yang dihajar di sekitar gedung baru memperjelas bahwa bangsa ini dapat berkembang hanya dengan melucuti hak-hak semua warga negara, termasuk umat Hindu seperti para pegulat terkemuka. Seperti yang dikatakan Mehbooba Mufti, mantan menteri utama negara bagian Jammu dan Kashmir yang sekarang telah dihapuskan, umat Hindu tidak boleh membuat kesalahan dengan berpikir bahwa mereka adalah penguasa bangsa ini. India baru, katanya, terikat untuk mengikuti Kashmir dalam represinya – di mana sulit bahkan untuk bernapas dalam kebebasan. \"Yang sedang dibangun adalah negara di mana tidak ada yang bisa menuntut haknya. Mereka yang mencoba akan ditekan. Sama seperti para pegulat,\" tulis Apoorvanand. (Dimas Huda)